Kebakaran & Asuransi

KEBAKARAN  DAN  ASURANSI

Oleh : M. Fithri, S.Ag*

 

Kebakaran

Kata “kebakaran” ditelinga penduduk Banjarmasin atau urang banjar terdengar akrab dan sudah menjadi pendengaran sehari-hari, sehingga reaksinya tidak terlalu kaget dan cenderung biasa, apalagi kalau lokasi kebakarannya jauh dari tempatnya berada, dan ada saja diantara kita kalaupun ke lokasi kebakaran lebih sebagai penonton.

Lain halnya yang pernah mengalami, mendengar kata kebakaran bisa menimbulkan trauma, apalagi kalau menelan korban jiwa.

          Pada hari Rabu, 29/09/2004, sekitar jam 14.30 Wita, telpon berdering dari kerabat di Kurau yang memberitahukan terjadi kebakaran di Tunggul Irang, Astagafirullah hal adziem, Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun seketika penulis berucap, segera memberitahu orang rumah dan menelpon  kakak dan kerabat-kerabat yang ada di Tunggul Irang, tetapi telpon yang dihubungi bernada sibuk, mail box, atau tidak aktif.

          Penulis beserta ortu dari Banjarmasin segera berangkat ke Martapura, karena rumah kakak, nenek dan kerabat ada di sana, didalam “taksi” yang membawa kami, ada seorang penumpang penduduk Martapura yang baru jam 12.00 Wita sebelumnya pergi ke Banjarmasin dan sekarang pulang, bercerita bahwa malam tadi ada yang melihat “hantu api” disekitar masjid Al-Karomah, dan warga setempat malam itu juga melakukon ritual dan do’a tolak bala, kebakaran ini baru tahu dari cerita kami kenapa ke Martapura.

          Pukul 15.30 Wita kami tiba dilokasi kebakaran, seperti peristiwa kebakaran umumnya, terjadi kesibukan luar biasa, disini kita dapat melihat langsung betapa banyaknya  relawan BPK dari seputar Martapura termasuk dari Banjarmasin dan Rantau berdatangan melakukan tugasnya dibantu habis-habisan masyarakat sekitar, betapa serius kerja keras mereka  dalam memadamkan api, betapa ramai dan sibuknya serta merupakan pengabdian yang luar biasa.  ada orang-orang yang mengungsikan barang-barangnya, mobil BPK yang meraung-raung dan berlari kencang, ada yang sedang sibuk memadamkan api, dan yang agak berbeda mungkin adalah berjubelnya penonton yang berbaju koko, bersajadah dan berkopiah haji, menyempatkan diri mampir menonton api karena sore itu menjelang ibadah nisyfu sya’ban dari tujuannya ke sekumpul atau masjid.

          Kami melihat bekas rumah nenek yang tinggal onggokan kayu-kayu yang hitam dan masih mengepulkan asap dengan diselingi api disana sini, sejauh mata adalah hamparan rata berwarna hitam dengan asap dan sisa sisa api di sana sini, seperti bekas perang yang dibumi hanguskan musuh di filem-filem, para tetangga masa kecil saya banyak yang terduduk dengan pandangan mata kosong dan tidak tahu harus melakukan apa, untuk mengucapkan kata-kata menghibur saja saya tidak terucap, Ibtidaiyah Al-Wardiyah tempat saya sekolah dulu tersisa dindingnya saja, rumah tempat tinggal saya sewaktu kecil dulu yang tersisa hanya kenangan.

          Pasca kebakaran, simpati dan empati masyarakat mengalir bukan hanya dalam bentuk ucapan tetapi secara nyata berupa pengumpulan bahan makanan, pakaian layak pakai, dan uang, gerakan ini secara spontan dari seluruh elemen masyarakat mulai tingkat RT, masjid-masjid, organisasi mahasiswa, media massa, bahkan BPK-BPK sendiri yang mendirikan pos-pos sumbangan dan tentu saja pemerintah, bukan hanya setempat, bahkan menteri juga datang melihat dan memberikan bantuan.

          Dari kejadian ironis di atas, cukupkah kita menanggulangi bahaya kebakaran  dengan ritual dan do’a tolak bala?, atau memanggil dengan segera BPK-BPK agar segera datang untuk menanggulangi kebakaran?.

          Tunggul Irang dan kampung-kampung disekitarnya adalah gambaran kampung yang sejak dulu berpenduduk padat dengan letak rumah yang tidak berpola, berlapis-lapis, tidak tertata baik, dapur/wc rumah seseorang bisa saja adalah depan rumah seseorang, menuju rumah tetangga didalam gang bisa jadi hanya muat badan lewat, sehingga kalau terjadi kebakaran mudah ditebak, sangat sedikit yang dapat diselamatkan, disamping bahan bangunan rumah kebanyakan adalah kayu yang sangat rentan terhadap kebakaran, ditambah pada saat sekarang ini masih musim kemarau.

          Dengan kondisi umum seperti itu, bukan hanya di Martapura atau Banjarmasin, bahkan di Kalimantan Selatan terutama di perkotaan, dan umumnya gaya hidup penduduk  banjar yang “seolah” tidak peduli dengan bahaya api, menjadikan Banjarmasin dan sekitarnya sangat rentan terhadap terjadinya kebakaran.

Di awal bulan September 2004, di berita berbagai media massa, BPK Banjarmasin masuk rekor MURI dengan deretan mobil BPK terpanjang se Indonesia, rekor di atas sebetulnya  menunjukkan arti lain dan menggambarkan realitas yang lebih dalam; keberadaan mereka karena di daerah ini sering terjadi kebakaran !.

          Keberadaan BPK bukan karena lembaga ini yang paling bertanggung jawab terhadap penanggulangan kebakaran, karena dari segi profesi saja –kalau dianggap sebagai pekerjaan-- kebanyakan mereka adalah sukarelawan  dan sampai sekarang tidak terdengar bahwa mereka digaji memadai.  Keberadaan BPK (yang sebenarnya terutama juga tanggungjawab Pemerintah)  merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam skala kecil, dan sangat mungkin diperluas dalam skala lebih besar karena sebenarnya seluruh komponen masyarakat semestinya menggunakan pola pikir, tindak laku dan bergaya hidup sebagai seorang relawan BPK dalam menyikapi bahaya kebakaran, yaitu diantaranya; bijaksana terhadap penggunaan alat listrik atau pemanfaatan api, terlatih melihat gejala dan bahaya  alat yang bisa menimbulkan kebakaran, terlatih memanfaatkan bahan yang bisa memadamkan api, terlatih dan termobilisir untuk bertindak cepat memadamkan api,  dan terlatih melokalisir kebakaran agar tidak meluas,

          Bayangkan kalau kita semua bisa berprilaku sebagai seorang relawan BPK yang mulia itu, berapa banyak harta benda dan nyawa yang dapat diselematkan, dan yang terpenting kebakaran secara signifikan akan dapat diminimalisir.

         

Asuransi

Ada sementara anggapan yang masih keliru dari kita, bahwa kalau suatu obyek (harta benda/jiwa) sudah diasuransikan, maka menjadi tanggung jawab perusahaan asuransilah semua resiko yang terjadi, padahal kalau kita mengikuti proses penutupan suatu polis asuransi, kedudukan resiko antara tertanggung dan penanggung pada posisi yang seimbang.

Perusahaan asuransi dalam menutup suatu polis, dalam hal ini kita fokuskan saja pada asuransi kebakaran sesuai tema kita, akan melihat kondisi pertanggungan yang riil pada saat aplikasi diisi, misalnya : bahan bangunan obyek mudah terbakar atau tidak?, ada tidak alat-alat listrik / bahan-bahan kimia / sejenisnya yang mudah terbakar di dalam/sekitar obyek?, kalau terjadi kebakaran langsung meluas atau tidak?, instalasi listriknya standard atau tidak?, alat pemadam kebakaran punya atau tidak?, jarak bangunan dengan bangunan lain, jalan masuk bisa dilewati mobil BPK tidak?, berapa waktu tempuh dan jarak obyek dengan BPK terdekat?, dan terutama adalah : kebiasaan/gaya hidup penghuni terhadap alat listrik dan pemanfaatan api, dan lain-lain.

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas kalau kita cermati, sebenarnya merupakan suatu “pelajaran” untuk bagaimana agar rumah/bangunan yang kita tempati aman dan memenuhi standar keselamatan, jadi katakanlah pihak asuransi ternyata tidak dapat mengaksep obyek yang kita ingin asuransikan, tidak perlu berkecil hati karena kita bisa menarik pelajaran bahwa ternyata bangunan/rumah  yang kita tempati tidak aman terhadap bahaya kebakaran, tinggal kita saja lagi mau “mengambil manfaat dari pelajaran” tersebut dan melakukan pembenahan atau tidak atau membiarkan apa adanya.

Dan kalaupun ternyata aplikasi kita diterima oleh pihak asuransi, kita tetap dituntut untuk menjaga kondisi sesuai dengan pertanggungan polis, sebagai salah satu contoh adalah kondisi pada instalasi listrik, suatu stop kontak yang standard adalah hanya satu  atau maksimal dua colokan, kadang karena keperluan, satu stop kontak kita jadikan “terminal listrik” dengan menambah stop kontak berganda untuk beberapa alat listrik yang berdekatan, pada kondisi ini, dapat dikatakan sebagai tidak standard lagi, dan apabila terjadi kebakaran dan api berasal dari atau disebabkan  stop kontak yang tidak standart lagi tersebut, maka sesuai dengan pengecualian SKI (Standard Kebakaran Indonesia) yang tercantum dalam polis, maka kebakaran tersebut tidak dapat diklaim.

Contoh lain dalam konteks yang sama adalah asuransi Mobil, meski pertanggungannya All Risk, tetapi kalau pengemudinya dalam keadaan pengaruh alkohol / NAPZA atau si pengemudi tidak punya SIM yang sesuai, dan terjadi kecelakaan, sekecil apapun klaimnya, kewajiban perusahaan asuransi menjadi gugur.

Inilah yang dimaksud mempunyai kedudukan resiko yang seimbang.

Jadi dapat disimpulkan, salah satu “hikmah berasuransi” berarti “digiring” untuk mematuhi peraturan dan bagaimana bergaya  hidup yang aman dan terlindungi (baca : saling melindungi).

Ibarat kata dokter, “mencegah lebih baik daripada mengobati”, dan mengutip ucapan AA Gym, “mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai sekarang juga”.

Wal hasil, kalau ikhtiar-ikhtiar di atas sudah kita lakukan, akan tetapi terjadi juga kebakaran, apalagi asal api bukan dari rumah kita, bagi yang mengasuransikan rumahnya tinggal menyiapkan pengajuan klaim, pihak asuransi akan membangunkan kembali sesuai nilai pertanggungan, dan yang tidak mengasuransikan, sebagai orang yang beriman menjadikanlah musibah tersebut sebagai suratan takdir yang harus kita terima dengan tawaqal dan tabah.

Wallahu’alam bis shawab.

 

_________________

*Penulis adalah Executive Financial Consultant pada PT. Takaful Indonesia Asuransi Syari’ah, (ditulis Oktober 2004) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Agenda Tersembunyi Praktek Pernikahan Beda Agama

Ikhtiar Bersama Pencegahan dan Penanggulangan Wabah Covid 19 (Bagian 1)

BAZNAS, Zakat Profesi ASN dan Politik Ummat