Ekonomi Pasar Pancasila Vs VOC Gaya Baru
Ekonomi Pasar Pancasila Vs VOC Gaya Baru
Oleh : M. Fithri*)
“Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain. Setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, produk-produk dijual kembali ke Negara asal, sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita: "VOC (Verenigte Oostindische Companie) yang memakai baju baru". Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam
makna neo-colonialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita
memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia
sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan
dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.”
Statement
diatas adalah bagian dari pidato BJ Habibie (Presiden RI ke-3, dan Ketua Dewan
Kehormatan ICMI) pada pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI
2017, dihadapan 600 peserta, Presiden RI Joko Widodo dan Kabinet Kerja, di
Istana Bogor pada 8 Desember 2017 silam. Pidato lengkapnya sebagai berikut :
Bapak Presiden
yang saya hormati, banggakan, sayangi, serta semua Tokoh Nasional dan ICMI yang saya hormati, banggakan, sayangi pula.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Tanggal 2 Juni 1945, 72 tahun dan 191 hari yang
lalu, didepan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan
pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia
Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila
sebagai PHILOSOFISCHE GRONDSLAG (Dasar Filosofis) atau sebagai WELTANSCHAUUNG (Pandangan Hidup) bagi Indonesia Merdeka.
Selama 72 tahun dan 191 hari perjalanan bangsa, Pancasila telah melalui berbagai
milestone dan dinamika sejarah sistem politik, sejak
zaman Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Era Orde Baru
hingga Demokrasi Multipartai di Era Reformasi
saat ini. Di setiap zaman, Pancasila harus melewati
alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya
sebagai Dasar Filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang
dan tak pernah berhenti di satu titik terminal
sejarah.
Sejak 1998, kita memasuki era Reformasi. Di satu
sisi, kita menyambut gembira munculnya Fajar
Reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di
berbagai bidang.
Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi
tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu
kita renungkan bersama: Dimanakah Pancasila kini
berada? Bagaimanakah Peranan dan Penerapannya pada
Pembangunan Nasional?
Pertanyaan ini penting dikemukakan, karena sejak reformasi 1998 Pancasila seolah-olah tenggelam
dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi
relevan untuk disertakan dalam dialektika
reformasi.
Pancasila seolah hilang dari
memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan ataupun pembangunan
Nasional.
Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong
sunyi justru ditengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang
semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan
berpolitik.
Mengapa hal itu terjadi?, Mengapa kita seolah-olah melupakan Pancasila?, Secara luas, Pancasila
sebagai ideologi negara juga diartikan sebagai visi penyelenggaraan
untuk kehidupan berbangsa dan bernegara
di Republik Indonesia.
Hal tersebut tercantum pada ketetapan MPR No. 18
Tahun 1998 yang berisi tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, serta
Penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Disebutkan dalam Pasal 1 bahwa Pancasila memiliki kedudukan sebagai ideologi nasional, di samping kedudukannya sebagai dasar negara.
Pancasila sebagai ideologi
negara berarti cita-cita untuk bernegara serta sarana yang dapat menyatukan masyarakat
melalui wujud aksi yang nyata dan operasional aplikatif, sehingga hal ini tidak
akan dijadikan slogan saja.
Pancasila sebagai ideologi negara berfungsi
sebagai alat penyatu masyarakat, sehingga dapat
dijadikan pedoman dan prosedur untuk
penyelesaian masalah.
Awalnya, Pancasila dikonsep
sebagai commonplatform atau platform bersama untuk berbagai macam ideologi yang
ada saat itu.
Apabila dilihat dari sudut pandang
politik, maka Pancasila diartikan sebagai bentuk persetujuan politik yang telah
disepakati secara mufakat.
Pancasila sebagai ideologi negara mengandung
nilai-nilai berikut:
1. Cita-cita normatif dalam penyelenggaraan Negara;
2. Hasil kesepakatan bersama yang mampu menjadi media untuk menyatukan keberagaman masyarakat.
Untuk mengimplementasikan Pancasila sebagai
Ideologi Nasional dan Ideologi Negara dapat
dilaksanakan sebagai berikut
:
1. Pancasila yang diwujudkan
sebagai Cita-Cita Negara diterapkan sebagai bentuk cita-cita penyelenggaraan untuk
bernegara yang tertulis di ketetapan MPR No. 7 tahun 2001 tentang Visi Masa
Depan Indonesia yang terdiri dari 3 hal:
a) Visi Ideal (cita-cita
bangsa sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea kedua dan keempat)
b) Visi Antara (visi negara
yang berlaku sampai tahun 2020)
c) Visi Lima Tahunan (sesuai
dengan yang disebutkan dalam GBHN).
2. Pancasila yang diwujudkan
sebagai Nilai IntegratifBangsa dijadikan sarana sekaligus prosedur untuk menyatukan
perbedaan dan menyelesaikan masalah di dalam kehidupan bernegara.
3. Pancasila dijadikan sebagai kode etik sosial
yang terkandung di dalam masyarakat majemuk.
PANCASILA sebagai Ideologi mencetak tebal 5 Pedoman Dasar Kehidupan Bernegara:
1. KETUHANAN Yang Maha Esa
2. KEMANUSIAAN yang adil dan beradab
3. PERSATUAN Indonesia
4. K E R A K Y A T A N y a n g d i p i m p i n o l e h h i k m a t kebijaksanaan dalam permusyawaraatan perwakilan
5. KEADILAN SOSIAL bagi seluruh rakyat Indonesia
Kelima Sila tersebut tidak dapat dipisahkan dan
harus menjadi satu kesatuan dengan memperhatikan nilai-nilai berikut:
1. Berbagai SDA dan Energi,
baik terbaharukan maupun tidak terbaharukan, dipandang sebagai pemberian atau
titipan dari Allah SWT kepada manusia untuk dimanfaatkan dan dikembangkan dalam
usaha untuk terus meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan hidup seluruh umat
manusia.
2. Pemilikan pribadi seperti tanah, Real Estate,
dsb.dalam batas-batas tertentu harus menjamin terjadinya pemerataan pembudayaan, pemerataan pendidikan, pemerataan perkembangan dan pemerataan
keadilan.
3. Kerjasama SDM yang saling menguntungkan harus menjadi penggerak utama Ekonomi Pasar Pancasila berwawasan yang mengandalkan inovasi, kreativitas dan teknologi.
4. Ekonomi Pasar Pancasila menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
5. Ekonomi Pasar Pancasila
menjamin pemilikan masyarakat yang penggunaannya direncanakan untuk kepentingan
banyak orang
Para hadirin yang
berbahagia,
Ada sejumlah penjelasan,
mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita. Pertama: Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah, baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945, 72
tahun yang lalu, telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini dan
akan terus berubah pada masa yang akan datang.
Beberapa perubahan yang kita
alami antara lain:
1. terjadinya proses globalisasi
dalam segala aspeknya
2. perkembangan gagasan Hak
Azasi Manusia (HAM) yang tidak diimbangi dengan rasa tanggung jawab terhadap
Kewajiban Azasi Manusia (KAM)
3. loncatan pemanfaatan
teknologi informasi oleh masyarakat, dimana informasi telah memiliki kekuasaan
yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang rentan
terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya
Ketiga perubahan tersebut
telah mendorong terjadinya pergeseran nilai bangsa Indonesia, sebagaimana
terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak
perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini.
Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen
kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu.
Pancasila juga bukan representasi sekelompok
orang, golongan atau orde tertentu.
Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan
arsitektural yang bernama Indonesia.
Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan
menyertai perjalanannya.
Rezim pemerintahan berganti setiap waktu dan menjadi masa lalu,
tetapi PANCASILA akan tetap ada dan takkan menyertai
kepergian sebuah era pemerintahan!
Masalah kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam
skala nasional, regional maupun global. Maka dari itu
diperlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan
nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju
hari esok Indonesia yang lebih baik.
Pancasila tak terkait dengan sebuah era
pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan Orde
Manapun. Pancasila harus terus diaktualisasikan
menjadi Jati Diri Bangsa mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan
dari waktu ke waktu.
Reformasi dan Demokratisasi
di segala bidang akan menemukan arah yang tepat ketika kita menghidupkan kembali
nilai-nilai Pancasila dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang
penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa kita yang majemuk ini.
Saat infrastruktur demokrasi
terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan
mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif.
Demokrasi telah menjadi alat pengukuhan egoism kelompok yang mengabaikan hak-hak sipil warganegara dan melecehkan supremasi hukum dengan alasan partisipasi politik komunal.
Dalam perspektif tersebut PANCASILA sangat diperlukan untuk
memperkuat pemahaman kebangsaan kita yang majemuk dan
menjawab pertanyaan kemana biduk PERADABAN BANGSA berlayar
di tengah lautan zaman yang penuh TANTANGAN dan
KETIDAKPASTIAN.
Agar tata NILAI-NILAI LUHUR
(NOBLE VALUES) lebih ‘membumi', PANCASILA perlu diaktualisasikan untuk mempermudah
implementasi dalam berbagai bidang kehidupan pada umumnya, khususnya
PEMBANGUNAN yang berdasarkan EKONOMI PASAR.
Pengembangan dan Penyempurnaan EKONOMI PASAR PANCASILA (EPP) harus dilaksanakan
sepanjang masa untuk membangun "PERADABAN INDONESIA“.
Sebagai ilustrasi: Kalau
sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang
sudah mengglobal sekarang ini?
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut.
Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang
ekonomi adalah pengalihan kekayaan alam suatu
Negara ke Negara lain. Setelah diolah dengan
nilai tambah yang tinggi, produk-produk dijual
kembali ke Negara asal, sehingga rakyat harus "membeli
jam kerja" bangsa lain.
Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru,
neo-colonialism, atau dalam pengertian
sejarah kita: "VOC (Verenigte Oostindische
Companie) yang memakai baju baru".
Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna
neo-colonialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana
kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam
kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara
meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai
kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan
dan kesejahteraan rakyat.
Alangkah bijaksana jikalau
semua produk yang dibutuhkan masyarakat Indonesia mengandung sebanyak mungkin
jam kerja sendiri, baik untuk proses "Nilai Tambah“ maupun proses "Biaya
Tambah“.
Produk yang di-import harus dibebani dengan pajak
karena mengambil jam kerja masyarakat.
Produkt yang di-eksport wajar dibina dan
diberikan insentif bebas pajak karena menjual atau
mengeksport jam kerja masyarakat.
Kita dapat menilai kualitas jam
kerja dari harga atau biaya jam kerja untuk dapat menghasilkan karya SDM yang dibutuhkan.
Karena Masyarakat Indonesia
lebih dari 87% beragama Islam, maka ekonomi dalam kaca mata Islam harus diperhatikan
dan merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah
yang teraplikasi dalam etika dan moral atau qualitas Iman dan Taqwa (IMTAQ):
1. Sistem
ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga
sebagai instrumen profitnya.
2. Sistem ekonomi syariah, dengan instrumen profitnya, yaitu sistem
bagi hasil.
Ekonomi Pasar Pancasila
(EPP) harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan
rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
Sebagai bagian dari EPP, sistem ekonomi konvensional dan syariah harus berfungsi saling menguntungkan dan menyempurnakan.
Sejalan dengan usaha
memperbaiki "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu
meningkatkan "Nilai Tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih
tinggi dari "Biaya Tambah".
Dengan ungkapan lain: "value added" harus lebih besar dari "added cost".
Hal itu hanya dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas,
efficiency, daya saing dan kualitas SDM terbaharukan dengan
menguasai, mengembangkan, menerapkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang tepat dan berguna,
secanggih apapun.
Sebagaimana diungkapkan diatas, EPP harus mampu memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
EPP harus mengandalkan
keunggulan SDM terbaharukan, pengembangan kualitas SDM, pembinaan Keluarga Sakinah
atau Keluarga Sejahtera yang berbudaya sebagai Program Utama Pengembangan dan Penyempurnaan EPP.
EPP membutuhkan SDM berkualitas melalui Proses Pembudayaan yang menghasilkan IMTAQ yang tinggi dan Proses Pendidikan yang menghasilkan keterampilan dan profesionalitas.
Proses KEUNGGULAN terjadi pada Lapangan Kerja sesuai bidang yang ditekuni
oleh SDM bersangkutan.
Proses PEMBUDAYAAN, PENDIDIKAN dan KEUNGGULAN merupakan Wahana (Vehicle) untuk menghasilkan SDM yang produktif, efisien, berbudaya, professional dan unggul sebagai andalan EPP.
Untuk itu dibutuhkan "Jaringan Nasional“ yang
memanfaatkan teknologi digital informasi masa kini dan masa datang.
Dewan Riset Nasional, multi Partai Politik
Nasional dan Pemerintah Pusat akan bersama menyusun
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai tugas yang
diberikan dan kelak dipertanggungjawabkan
oleh Presiden R.I. yang demokratis langsung
dipilih Rakyat Nasional.
Dewan Riset Daerah, multi
Partai Politik Daerah dan Pemerintah Daerah akan bersama menyusun Garis Besar Haluan
Daerah (GBHD) sebagai tugas yang diberikan dan kelak dipertanggungjawabkan oleh
Gubernur Daerah yang demokratis langsung dipilih Rakyat Daerah.
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mendapat masukan dari Garis Besar Haluan Daerah (GBHD).
Dalam forum yang terhormat
ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, para tokoh dan
cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain khususnya
para Anggauta ICMI dimanapun anda berada untuk secara serius merumuskan implementasi
nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam Lima Sila-nya dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan.
Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dalam program yang dilaksanakan.
Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila
sebagai dasar negara dan sebagai pandangan hidup
akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan
kita melalui Pembangunan Nasional yang Pro Rakyat atau
EPP.
Melalui „Ekonomi Pancasila yang berorientasi pada
Pasar atau EPP“, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat
baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.
Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan.
Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam
sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan
berkembang di seluruh pelosok nusantara.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam bentuk
EPP harus menjadi gerakan nasional yang terencana
dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik
semata.
Saya yakin, meskipun kita berbeda
suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita
akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Saya percaya, demokratisasi
yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang
sedang berlangsung akan lebih terarah jika nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 8 Desember 2017
Bacharuddin Jusuf Habibie
*)Utusan Peserta
Silaknas ICMI 2017
Wakil Sekretaris ICMI
Orwil Kalsel
Wakil Sekretaris
Koalisi Kependudukan Kalsel
Pengurus IGI Wilayah
Kalsel
Tawaran solusi yg Indonesia BENAR, tameng melawan VOC Gaya Baru
BalasHapus