Ekonomi Syari'ah, Produk, dan Sertifikasi Halal, Untuk Siapa?
EKONOMI SYARI’AH, PRODUK DAN SERTIFIKASI HALAL, UNTUK SIAPA?
Oleh : M
Fithri, S.Ag)*
Pro kontra produk halal dan
pensertifikasiannya di negara Indonesia yang majemuk terutama dari sudut
pandang antara kepentingan agama dan bisnis, sudah dan masih berlangsung.
Menurut sudut pandang Islam,
sebagai konsumen terbesarnya, idealnya semua produk dibuat sendiri oleh
produsen muslim dengan tuntunan ajaran syari’at Islam, faktanya adalah produsen
dan produknya masih didominasi oleh non muslim, sedangkan konsumen seiring
dengan kesadaran menggunakan produk halal sebagai bentuk ketaatan menjalankan
agama, lebih memilih produk yang halal, sehingga produsen supaya tidak
kehilangan konsumen dengan “terpaksa” memproduksi dan mensertifikasi produknya
supaya masuk kategori halal.
Dalam pandangan agama Islam,
barang yang dikonsumsi akan menjadi darah daging yang apabila secuil saja tidak
halal, maka pertanggungjawabannya di akhirat menjadi bahan bakar neraka.
Konsep halal dan haram dalam Islam, segala
benda adalah boleh (halal) dikonsumsi kecuali yang secara spesifik disebutkan
dilarang (haram) digunakan (refer to Qur’an, Hadits, Ijma’ and Qiyas)
Halal dalam satu kesatuan adalah “Halalan
Thoyyiban” yang didalamnya mencakup
(Hiegiens, Healthy & Wholesome )
“Wahai Manusia, makanlah oleh kalian dari apa-apa yang ada di muka bumi
yang halal dan thoyyib, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, karena
sesungguhnya syaitan adalah musuh nyata bagimu” (QS.
Al-Baqarah : 168)
Halal
harus bersih, murni
dan dibuat sesuai
dengan ketentuan hukum Islam, termasuk yang diharamkan adalah
babi dan turunannya, darah dan turunannya, binatang yang disembelih dengan
tidak menyebut nama Allah SWT, bangkai, binatang buas, dan khamr.
Diantaranya terungkap pada buku
yang populer karya al-Qardawi “Al Halal
wal Haram Fil Islamy” menunjukkan bahwa halal-haram sangat penting bagi kaum
Muslim, ada kebutuhan mendesak mengenai apa yang halal dan haram dalam konteks
kekinian, diantaranya juga adanya Pro dan Kontra tentang halal-haram yang
berpandangan bahwa hal ini menunjukkan kekakuan dan formalitas dalam beragama.
Halal dan Haram adalah substansi
ke-Islam-an seseorang, yang akarnya adalah masuk dalam kategori Akhlak,
sebagaimana bebarapa dalil berikut : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di
sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian” (Alqur’an); “Sesungguhnya
Engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung” (Alqur’an); “Sesungguhnya aku
diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan kemuliaan Akhlak” (hadis); “Mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (hadis).
Akhlak dalam Bahasa Arab, kata khalq artinya ciptaan, dan khalaqa artinya mencipta, sementara
karakter disebut khuluq. Ini
berarti, karakter seseorang melekat pada wujud penciptaan dirinya dan
menciptakan siapa dirinya.
Akhlak itu bersifat relasional.
Akhlak mewujud dalam hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia,
dengan lingkungan, dan dengan dirinya sendiri.
Menurut Fazlur Rahman (d.1988) “The basic elan of the Qur’an is moral, whence flows its
emphasis on monotheism as well as on social justice. The moral law is
immutable: it is ‘God’s command.’ Man cannot make or unmake the moral: he must
submit to it. This submission to it being called Islām and its implementation
in life being called ‘ibāda or
‘service to God’. = Semangat
dasar dari al-Qur’an adalah moral darimana ia menekankan monoteisme dan
keadilan sosial. Hukum moral itu tak berubah: ia adalah ‘perintah Tuhan.’
Manusia tidak dapat membuat berubah: ia adalah ‘perintah Tuhan.’ Manusia tidak
dapat membuat atau memusnahkan hukum moral: ia harus menyerahkan diri
kepadanya. Penyerahan diri ini disebut Islām dan implementasinya dalam
kehidupan disebut ‘ibādah atau ‘pengabdian kepada Allah.
Hukum moral bagi Fazlur Rahman itu tiada lain daripada nilai-nilai
akhlak; Ketentuan halal-haram adalah tata nilai Islam yang mengatur perilaku (akhlak)
manusia dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, alam-lingkungan, dan diri
sendiri, Halal-haram bukan sekadar bentuk tetapi isi, bukan sekadar formalitas
tetapi substansi.
Sebetulnya halal itu apa?, menurut al-Jurjani mendefinisikan bahwa
halal adalah : (1) Segala sesuatu yang tidak diganjar siksa jika menggunakannya
(2) Apa yang dibolehkan oleh Syariat melakukannya.
Menurut al-Qardawi; Halal adalah sesuatu yang boleh, yang terlepas
baginya ikatan larangan dan syariat mengizinkan orang melakukannya.
Ayat
tentang Halal Al Baqarah 168: “ Wahai sekalian manusia, kamu makanlah dari apa
(tersedia) di bumi yang halal (hukumnya) lagi baik (sifatnya) dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya bagi kamu (adalah musuh)
yang nyata”
Al Baqarah
172 : “Wahai sekalian orang-orang yang
beriman, makanlah oleh kamu dari yang baik-baik, apa yang kami rezkikan kepada
kamu dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika kamu adalah hanya kepada-Nya kamu
menyembah”
Beberapa Kaidah Fiqh; Pada dasarnya semua hal boleh kecuali ada dalil
yang mengharamkannya; Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah semata; Yang
halal mencukupkan orang dari yang haram; Keadaan darurat membolehkan yang
dilarang.
Conference at CUHK, 27-28 April 2017, Internasional conference on food
and drink in islamic societies and culture, beberapa catatan : You are what you eat (kamu adalah apa yang
kamu makan); dihadiri perwakilan 19 negara sebagian dihadiri oleh negara non
muslim; Pemerintah Singapura mendukung produk Halal karena dinilai lebih
menguntungkan secara bisnis, karena konsumen terbesarnya adalah muslim; Hong
Kong masih mengaitkan ‘halal’ dengan identitas Islam, sehingga masih mendua.
Implementasi sertifikasi Halal adalah amanat
UU, yaitu UU No. 33 Tentang Jaminan Produk Halal, yang telah ditandatangani
sejak tahun 2014, dan Kewajiban Sertifikasi Halal merupakan sebuah Mandatori
yang mulai diterapkan tahun 2019.
3 tahun setelah UU No. 33 tahun 2014 disahkan,
kemudian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dibentuk dibawah
Kementerian Agama RI
BPJPH di didirikan tanggal 11 Oktober 2017
2019 Sertifikasi Halal dilaksanakan oleh
BPJPH, LPH dan khusus MUI untuk Fatwa Halal-nya
Regulasi Pemerintah
Indonesia tentang Halal diatur dalam PP No 31 2019, terutama Pasal 2:
1. Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan
di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal
2. Produk yang berasal dar bahan yang diharamkan
dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal
3. Produk sebagamana dimaksud pada ayat 2 wajib
diberikan keterangan tidak halal
4. Pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan
tidak halal pada produk sebagaimana dimaksud.
Tantangan ke Depan; BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal)
adalah badan yang dibentuk pemerintah, mitra utamanya adalah MUI; Karena
lembaga ini baru, masih banyak sekali yang perlu disiapkan dan dikerjakan,
mulai hulu (bahan, proses, produk) sampai dengan hilir (sampai ke tangan
konsumen) ; UIN perlu membuka prodi kajian halal; Dunia usaha menyiapkan diri.
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia, pada
tahun 1998, Prof. Dr. Tri Susanto, M.App.,Sc (Universitas Brawijaya) menemukan
produk turunan dari babi seperti gelatin, lemak babi dalam makanan dan minuman,
Problem nasional ketika kasus diatas mengemuka, penjualan produk mengalami
penurunan antara 20 % s.d. 30 %, dalam sejarahnya, MUI mendirikan LPPOM MUI,
Partisipasi pelaku usaha melakukan sertifikasi halal dilakukan dengan sukarela,
2001 ditemukan kasus, Skandal Ajinomoto.
Produk dan sertifikasi halal tidak terlepas dari BPJH; Wewenang BPJPH (Menurut UU No 33 Tahun 2014);
1. Merumuskan dan menetapkan
kebijakan JPH; 2. Menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; 3. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk;
4. Melakukan registrasi sertifikat
halal pada produk luar negeri; 5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal; 6. Melakukan akreditasi terhadap LPH; 7. Melakukan registrasi auditor halal; 8.
Melakukan pengawasan terhadap JPH;
9. Melakukan pembinaan auditor halal;
dan 10. Melakukan kerjasama
lembaga dalam dan LN dalam penyelenggara JPH.
Tiga Institusi Utama JPH; 1. Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama; 2. Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH). Didirikan oleh Universitas, atau oleh Masyarakat luas dalam
hal ini bisa berupa Yayasan atau Perkumpulan Islam, seperti NU, Muhammadiyah,
ICMI, dll ; 3. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa halal.
Segitiga Emas Jaminan Produk Halal = BPJH –
MUI – LPH
Kerjasama BPJPH dengan MUI (Pasal 10); 1. Sertifikasi
Auditor Halal; 2. Penetapan Fatwa Kehalalan Produk; 3. Akreditasi LPH
Siapa yang Berhak Mendirikan LPH (Pasal 12); Pemerintah
dan / atau masyarakat dapat mendirikan LPH; 2. LPH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
Syarat Mendirikan LPH (Pasal 13); 1. Memiliki
kantor sendiri dan perlengkapannya; 1. Memiliki akreditasi dari BPJPH; 2. Memiliki
auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan, 3. Memiliki laboratorium atau
kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.
Syarat Auditor Halal (Pasal 14); 1) Diangkat
dan diberhentikan oleh LPH; 2) Memenuhi syarat : a) Warga Negara Indonesia; b) Beragama Islam; c) Minimal S1 (Bidang pangan, kimia, biokimia,
teknik industri, biologi, atau farmasi); d) Memahami dan memiliki wawasan luas
mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam ; e) Mendahulukan kepentingan umat di atas
kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan, f)
Memperoleh sertifikat dari MUI.
Tugas Auditor Halal (Pasal 15) a) Memeriksa
dan mengkaji Bahan yang digunakan; b) Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan
Produk; c) Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; d) Meneliti lokasi
Produk; e) Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; f) Memeriksa
pendistribusian dan penyajian Produk; g) Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku
Usaha; dan, h) Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Halal Center di Perguruan Tinggi; 1. Bidang
pengabdian pada masyarakat tentang produk halal; 2. Bidang yang melakuan
penelitian (interdisipliner) terhadap masalah produk halal; 3. Bidang yang
membina masyarakat tentang pemahaman dan implementasi produk halal; 4. Berkoordinasi
dalam APKAHI (Asosiasi Pusat Kajian Halal Indonesia)
Pentingnya Sertifikasi Halal Bagi Pengusaha,
berkaitan erat dengan regulasi Pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang berisi Pokok-pokok
pengaturan dalam Undang-Undang ini
antara lain adalah, untuk menjamin
ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang memberikan persyaratan
hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan
memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari
Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan
tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak
mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.
Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali
dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH
Manfaat Sertifikasi Halal Bagi Pelaku Usaha;
1. Jaminan Kualitas; 2. Meningkatkan Kepercayaan Konsumen; 3. Produk Memiliki
Unique Selling Point (USP); 4. Mendapat Akses Pasar Global; 5. Merupakan Ibadah
Manfaat Sertifikasi Halal Bagi Konsumen; 1. Memberikan
Ketenangan; 2. Jaminan Atas Produk yang dihasilkan; 3. Bernilai Ibadah
Kendala yang di hadapi oleh Produsen untuk
mendapatkan sertifikasi halal ; 1. Biaya
relatif mahal ; 2. Proses yang cukup rumit; 3. Peralatan produksi, Bahan yang
digunakan; 4. Penyembelihan hewan; 5. Terbatasnya kuota yang difasilitasi Pemerintah.
Harapan pelaku usaha kepada Pemerintah; 1
Perda Pemberdayaan UMKM, Diantaranya mengatur perihal = sistem, teknis dan
pendampingan pengembangan UMKM; 2. Administrasi = Dipermudah, Informasi SOP
detil yang berlaku, Sistem Digital; 3. Sisi Biaya - Harga terjangkau; 4. Penambahan
Kuota yang difasilitasi sertifikasi Halal.
Harapan pelaku usaha kepada Stake Holder
terkait; Adanya kolaborasi atau subsidi silang dengan para pelaku usaha yang
lebih besar.
Menurut Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari
Banjarmasin, BPJPH diharapkan menjadi lembaga yang mempermudah, efisien efektif,
dan tetap berpihak kepada manfaat yang maksimal bagi produsen dan konsumen,
tidak malah menjadi ribet.
Dan menurut Afdhal Aliasar, Direktur
Pengembangan Ekonomi Syariah dan Industri Halal KNKS (= Komite Nasional
Keuangan Syari’ah), dimungkinkannya bagi Ormas atau PT yang memenuhi syarat
mendirikan LPH (Lembaga Penjamin Halal) sebagai lembaga pelaksana teknis,
disatu sisi memberi keleluasaan dan kemudahan produsen untuk mendapatkan
sertifikasi halal, disisi lain kalau SOPnya tidak standar, bisa terjadi
misalnya LPH Banjarmasin menerbitkan sertifikat halal terhadap produk suatu
produsen, tetapi untuk produk yang sama misalnya di Bandung, oleh LPH setempat
tidak diterbitkan, padahal produk yang sama dan produsen yang sama
Bisnis atau Usaha Syariah adalah, segala usaha
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup berupa aktifitas produksi, distribusi,
konsumsi dan perdagangan baik berupa barang maupun jasa yang sesuai dengan
aturan-aturan dan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam al Qur’an dan as
Sunnah.
Dalam hukum bisnis syariah, pelakunya tak
hanya mementingkan keuntungan saja, tapi juga apakah kegiatan jual beli yang
dilakukannya bisa mendapatkan keridhoan dari Allah SWT.
Dalam qaidah fiqih terdapat suatu rumusan
yaitu dalam hal muamalah hukum asal sesuatu adalah dibolehkan hingga ada dalil
yang mengharamkan. Untuk itu kaum muslimin cukup bertanya tentang apa yang
dilarang. Kalau tidak ada larangan maka berarti hal tersebut dibolehkan. Akan
tetapi untuk mengetahui sesuatu itu dilarang atau tidak dibolehkan maka kita
harus berusaha untuk mengetahui atau mempelajari apakah ada larangan dalam
syariah Islam.
Jangan disalah artikan, ”belum tahu hukum”
tidak sama dengan ”tidak ada larangan”. dalam kaidah fiqih dinyatakan ”ambil
yang yakin tinggalkan yang ragu.” Kalau setelah diselidiki hukum sesuatu
ternyata memang tidak dilarang oleh Al Quran atau Hadis Nabi maka baru kita
boleh mengatakan hukumnya mubah (boleh).
Ruang Lingkup Bisnis Syariah terdiri dari 3
Aspek : Akad-akad yang menyangkut INPUT, Faktor-faktor produksi misalnya
akad dalam Permodalan, Bentuk Badan Usaha, pembelian bahan baku,dll.; Akad-akad
yang menyangkut PROSES, misalnya
hukum syariah tentang manajemen, teknologi, Barang dan Jasa, Pemasaran, jual
beli, dll.; Akad-akad yang menyangkut OUTPUT, tentang profit dan
benefit, misalnya hukum tentang Laba, Upah / Gaji, Zakat, Shadaqah, dll
Potensi usaha Syariah DI Indonesia; Mayoritas
penduduk di Indonesia adalah pemeluk agama Islam; Perkembangan Lembaga Keuangan
Syariah seperti Perbankan Syariah maupun Lembaga keuangan non Bank (Asuransi
Syariah, Pasar Modal Syariah, Koperasi Syariah, Leasing Syariah, Gadai Syariah,
Bank Wakaf Mikro dll); Kesadaran
masyarakat muslim yang mulai tinggi dengan permintaan terhadap
produk-produk yang terjamin baik dalam akad, kehalalan dan sesuai dengan
Syariah Islam.
Trend Bisnis secara syariah oleh para pelaku
usaha dengan berkembangmya bisnis syariah baik produk maupun jasa seperti hotel syariah, pantai syariah, ojek
syariah, kuliner syariah, Salon Syariah, produk kosmetik, obat, fashion dan
lain-lain.
Indonesia sebagai salah satu destinasi halal dunia.
Peluang dan tantangan usaha syari’ah; berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) tahun 2018, ada sebanyak 143,26 juta orang yang menggunakan internet di
Indonesia. 80 persen dari angka tersebut merupakan jumlah pengguna internet
yang dilakukan melalui smartphone. Fakta ini menjadi sebuah peluang yang
diambil oleh berbagai pihak, tak terkecuali oleh bidang Perbankan Syariah dalam
menghadapi revolusi industri 4.0.
Tingkat penetrasi internet dalam aktivitas
kehidupan masyarakat saat ini adalah sebesar 57 persen dan diperkirakan pada
2020 akan mencapai 88 persen merupakan peluang tidak hanya bagi industry
perbankan tapi juga pelaku Bisnis Syariah lainnya seperti bisnis travel, Hotel,
Restoran/Kuliner, Transportasi dll sehingga mampu beradaptasi dan bersaing di
era digital yang terus berkembang.
Dalam industri makanan halal dunia, pada tahun
2016 jumlah konsumsi makanan halal adalah sebesar 1.245 miliar US dollar dan
Indonesia memiliki tingkat konsumsi makanan halal tertinggi di dunia. Sayangnya
kita masih berkutat dalam konsumsi dan belum merambah ke industri produksinya,
ini yang kemudian menjadi peluang ekonomi syariah untuk Indonesia.
Sehingga diperlukan sinergi seluruh elemen
untuk membangun ekosistem ekonomi syariah yang dilakukan oleh setiap elemen.
Baik Ulama, Pemerintah, Regulator, masyarakat dan pelaku usaha, akademisi,
media, dan bank syariah .
Kebijakan Pemberdayaan Ekonomi pesantren Bekerjasama
dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan Kementerian Perindustrian
dalam pengembangan kawasan industri melalui penyiapan tenaga kerja terampil
lulusan pondok pesantren, serta sinkronisasi kawasan industri dan kawasan
religius.
Kemenag bersama Bank Indonesia (BI)
mengembangkan kerjasama kemitraan dalam pemberdayaan ekonomi pesantren
sekaligus penguatan ekonomi syariah. Untuk kemitraan ini, Kemenag telah
menyiapkan template inkubasi bisnis untuk pesantren, roadmap virtual market
produk pesantren, pelatihan usaha, dan festival produk pesantren.
Kerjasama BI dan Kemenag dalam pengembangan
ekonomi syariah; Pengembangan kemandirian ekonomi lembaga pondok pesantren dan
peningkatan layanan non tunai untuk transaksi keuangan di lingkungan
Kementerian Agama melalui bergagai program diantaranya; 1. Edukasi keuangan
kepada para santri; 2. Kerjasama Inkubator kewirausahaan dengan pondok
pesantren; 3. Perluasan Gerakan Nasional Non Tunai untuk transaksi keuangan di
lingkungan Kementerian Agama dalam
rangka mewujudkan keuangan inklusif dan Gerakan Nasional Non Tunai yang terarah
dan efisien.
Contoh usaha-usaha syari’ah; 1. Ojek Online
Syariah (Mba Jeck Banjarmasin); 2. Pantai Syariah Pulau Santen (Banyuwangi); 3.
Ukhti Danti Kafe Syari’ah (SulSel); 4. Salon Syariah Beauty Akhwat (Banjarmasin);
5. Penginapan Syari’ah Mulia Homestay Syari’ah
(Banjarmasin); 6. Hotel Grand Q Dafam Syariah (Banjarbaru).
Urban Farming; 1. Pertimbangan Lahan; 2. Gaya
hidup; 3. Perputaran modal pendek; 4. Manfaat bisnis dan psikis.
Potensi perkebunan; 1. SDA mendukung; 2. Investasi Jangka panjang;
3. Pengembangan usaha (agrowisata)
Peran pemangku kebijakan; 1. Dukungan-pendampingan;
2. Perlindungan; 3. Regulasi; 4. Literasi-edukasi; 5. Standarisasi; 6. Pengembangan
Peluang dan Tantangan dalam Membangun Usaha
Syariah; 1. Sertifikasi Produk Halal, merupakan penting dalam perlindungan
konsumen dan perjualan barang untuk ekspor; 3. Penggunaan Instrumen Pembiayaan Syariah,
sangat penting untuk membangun bisnis syariah supaya dari hulunya sudah halal;
4. Inovasi Produk, dalam produk-produk yang ditawarkan seperti memanfatkan
komoditas menjadi produk baru yang dapat diminati masyarakat atau bisnis model
baru pada industri jasa; 5. Literasi Syariah yang masih minim dan paparan
mengenai keuangan Syariah dan industri halal yang masih minim; 6. Transformasi
Ekonomi Digital Syariah dalam transaksi jual dan beli dengan menggunakan sistem
pembayaran digital syariah dan penjualan di market place yang halal untuk
memudahkan proses jual dan beli.
Kiat-Kiat Berbisnis Secara Syariah; 1. Gunakan
Infrastruktur Keuangan Syariah; Gunakanlah bank syariah, pembiayaan syariah,
asuransi Syariah/takaful dan lain-lain); 2. Hindari Spekulasi; Hindari
ketidakjelasan dan permainan bisnis yang merugikan orang lain; 3. Berjamaah; Bersinergi
dan berkolaborasi saling bahu membahu sesama pengusaha; 4. Bantu Sesama yang
Membutuhkan; Berikan sedekah, infaq dan zakat saling tolong menolong sesama; 5.
Sebarkan Ilmu dan Kesempatan; Jangan takut berbagi ilmu dan jangan menyerah
terhadap berbagai rintangan
Pembiayaan Secara Syariah memiliki berbagai
keunggulan daripada pembiayaan konvensional yaitu tidak ada penggunaan bunga,
akad yang transparan dan halal.
Tips Menggunakan Pembiayaan Institusi Keuangan
Syariah; 1. Perkuat administrasi, Laporan Keuangan; 2. Skema Bisnis dengan
Benar dan terstruktur, Cashflow, Kebutuhan Funding, Target Penjualan, Bridging
financing yang dibutuhkan; 3. Terbuka dalam informasi; Info asset usaha, info
kolateral; 4. Tata Kelola Perusahaan; Izin lokasi, sertifikasi halal, pajak,
export-import,
Peluang Usaha Syariah yang lagi trend ; 1.
Halal Life Style; 2. Makanan dan Minuman Halal; 3. Online Marketplace; 4. Muslim
Fashion; 5. Sharing Economy; 6. Industri Haji dan Umrah; 7. Finansial Teknologi;
8. Penyaluran Dana Sosial Keagamaan; 9. Muslim Friendly Tourism; 10. Pendidikan
dan Pesantren; 11. Kosmetik Halal.
Pemberdayaan Ekonomi melalui Wakaf Produktif,
menurut Murad Cizakca, Wakaf itu berlawanan dengan Riba, Wakaf ada yang non Produktif, ada Produktif, ada Wakaf uang dan ada Wakaf
Melalui uang.
Tentang Zakat, Hukumnya Wajib bila mencapai
hisab dan nisab, Penerima zakat hanya 8 golongan ashnaf, Sifat penggunaannya
adalah Konsumtif. Sedangkan Wakaf, hukumnya Sunat, tidak ada nisab dan
hisabnya, Penerima wakaf Bebas, bisa saja diluar 8 golongan ashnaf, Sifatnya Produktif,
karena harus kekal obyek wakafnya.
Ilustrasi Wakaf Produktif Peternakan Sapi; Daging
sapi mahal karena tempat produksi jauh dipelosok, jauh dari pasar, dan mahal
karena transportasi dan transit, misalnya dari Nusa Tenggara Barat ke Jakarta; Katakanlah
sebuah Universitas suatu propinsi mempunyai fakultas peternakan, dengan
mengunakan jalur wakaf, dibuat : 1. Lahan Pengembalaan/Kandang dari Tanah Wakaf
= tidak keluar biaya pembelian lahan; 2. Bibit Sapi, pembuatan kandang, pakan,
pemeliharaan = dari Zakat/Wakaf CD (Community Development)
perusahaan-perusahaan = tidak keluar cost bahan baku dan cost produksi; 3. Pengemukan,
pemeliharaan, kesehatan hewan = mahasiswa magang dari Fakultas Pertanian = biaya rendah untuk SDM pegawai peternakan pengelola.
Karena semua cost (biaya proses produksi) rendah,
bahkan tanpa cost, maka logikanya daging sapi bisa murah.
Kalau masing-masing provinsi punya satu saja
usaha produktif semacam ini dari jalur wakaf ini, berarti ada 34 buah, biaya cost minimal,
hanya ada keluar biaya transit, hanya transport lokal, maka daging sapi cendderung
akan murah, bisa tinggal 1/3 nya saja lagi dari harga sekarang.
Kunci Sukses Pengambangan Ekonomi melalui
Wakaf : 1. Dukungan penuh Pemerintah; 2. Dicanangkan sebagai program nasional;
3. Badan khusus untuk koordinasi lintas otoritas; 4. Fokus memanfaatkan
keunggulan kompetitif suatu negara; 5. Strategi nasional mencakup reformasi
struktural pemerintah, maupun paradigma masyarakat.
Gambaran Trend Perkembangan Ekonomi Syariah
Global : 1. Tiongkok: Ekspor baju muslim tertinggi ke Timur Tengah ($28 milyar);
2. Korea: Visi menjadi Destinasi utama wisata halal; 3. Inggris: London sebagai
Pusat Keuangan Syariah di Barat; 4. Jepang: Industri Halal sebagai kontributor
kunci di 2020; 5. UAE: Dubai sebagai Ibu Kota Ekonomi Syariah; 6. Thailand:
Visi menjadi Dapur Halal Dunia; 7. Arab Saudi: Pusat Islam Dunia; 8. Malaysia:
Visi menjadi Pusat Industri Halal dan Keuangan Syariah Global di 2020; 9. Brazil:
Pemasok daging unggas halal terbesar ke Timur Tengah; 10. Australia: Pemasok
daging sapi halal terbesar ke Timur Tengah
Kemiskinan di dalam Al-Qur’an, diantaranya
berturut turut terdapat pada QS. An-Najm Ayat 43, 44, 45 dan 48; “Dan
bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (43); “Dan
bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan” (44); “Dan bahwasanya Dialah
yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita” (45); “Dan bahwasanya Dia
yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan” (48);
Pemberdayaan Ekonomi Syariah; Seseorang atau
kelompok orang mampu untuk memanfaatkan potensi yang dimilikinya dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya sehingga tidak bergantung kepada orang lain. Sama
halnya dengan pendidikan, ekonomi juga merupakan hal vital dalam kehidupan.
Untuk itu, BAZNAS dalam upaya memandirikan
penerima manfaat (mustahik), membuat program penyaluran ZIS dan DSKL bidang
pemberdayaan ekonomi secara komprehensif dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup mereka (mustahik).
Skema bantuan modal usaha; Bantuan peralatan
usaha; Bantuan perbaikan tempat usaha; Bantuan pelatihan dan pendampingan
usaha.
Beberapa Contoh Dana Wakaf Untuk Ekonomi
Produktif; 1. Wakaf tanah untuk pembangunan kawasan per tokoan milik pengurus
NU; 2. Wakaf tanah untuk pembangunan gedung Universitas NU; 3. Wakaf tanah
untuk yayasan Yatim Sentosa pembangunan kawasan pertokoan dan gedung serbaguna;
4. Badan Wakaf di Mesir membangun pergudangan disepanjang Sungai Nil dimana
pendapatannya digunakan untuk operasional universitas AL-Azhar; 5. Wakaf tanah
dari Orang Arab yang diberikan kepada orang Islam di Singapura yang digunakan untuk
membangun Sekolah Anak-anak Orang Islam. Pembangunan di Fasilitasi oleh
pembiayaan dari Bank. Pendapatan dari uang sekolah dapat dibayarkan sebanyak
50% untuk cicilan Bank dan sisanya digunakan untuk Operasional
Kondisi Kemiskinan di Indonesia; 1. Jumlah
penduduk miskin Indonesia mengalami penurunan dari 47,97 juta orang (23,43%)
pada tahun 1998 menjadi 25,14 juta orang (9,41%) pada bulan Maret 2019; 2. Penurunan
kemiskinan perdesaan 3.29% (CAGR); 3. Penurunan kemiskinan perkotaan 2.63%
(CAGR); dari data di atas menunjukkan, disparitas Kemiskinan Perkotaan &
Perdesaan Masih Tinggi, Perkotaan 6,69 % Vs Perdesaan 12,85%
Setiap tahunnya, bantuan sosial tumbuh sebesar
6.96% (CAGR), Bantuan sosial memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan
penurunan jumlah masyarakat miskin, sebesar -0,54
Penguatan Ziswaf untuk Pembangunan Ekonomi
Indonesia; Kekuatan = 1. Potensi Ziswaf masih besar; 2. Kecendrungan kesadaran
beragama yang menguat; 3. Teknologi Informasi mempermudah penghimpunan Ziswaf;
4. Dukungan Pemerintah/lembaga terkait.
Kelemahan = 1. Awareness masyarakat dalam berZISWAF; 2. Rendahnya
otimalisasi Ziswaf dalam pembangunan ekonomi; 3. Penguatan governance dan
kompetensi lembaga ISF; 4. Koordinasi
antar lembaga; 5. Data/informasi belum akurat
Peluang ; 1. Kerjasama antar lembaga internasional; 2. Perhatian dunia
terhadap optimalisasi Ziswaf; 3 .Pemanfaatan teknologi digital
Tantangan; 1. Isu peran ekonomi Islam secara umum; 2. Isu money laundry
atau terorisme; 3. Perbedaan Yudiksi/Peraturan
Latar Belakang Waqf Core Principles; Kerjasama BI,
IRTI - IsDB,
dan BWI, diluncurkan
pada acara IMF - World Bank Annual Meeting di Bali, 14 Oktober
2018
Tujuan : 1.
Memberikan penjelasan mengenai
posisi dan peran
manajemen serta sistem pengawasan
wakaf dalam program pengembangan ekonomi; 2.
Memberikan metodologi untuk
menetapkan aturan utama
dalam manajemen dan sistem pengawasan wakaf.
Dapat disimpulkan, bahwa : 1. Islamic Social
Finance (ISF) dapat menjadi salah satu solusi yang efektif dan nyata dalam mendukung
program ekonomi nasional; 2. Peran ISF: membantu Pemerintah dalam meningkatkan
layanan sosial masyarakat; menurunkan biaya perekonomian secara umum; mendukung
distribusi pendapatan dan pertumbuhan inklusif; 3. Optimalisasi ISF : Inovasi
pengelolaan ZISWAF sesuai prinsip syariah, pemanfaatan teknologi digital; peningkatan
aspek governance dan tata kelola, kerjasama dan kolaborasi pihak dan otoritas
terkait
Wallahu
‘alam bishawab.
*)ASN Penyuluh Agama Islam, Kemenag Kab. Banjar
Kalsel
Wakil Sekretaris Koalisi Pembangunan Kependudukan
Kalsel
Wakil Sekretaris ICMI Orwil Kalsel
Pengurus IGI Kalsel
Peserta Seminar Regional Ekonomi Syari’ah pada
Festival Syari’ah Banjarmasin 2019
Lengkap pembahasan dan seluk beluknya, informasi yg sangat bermanfaat
BalasHapusTulisan yg menarik & bermanfaat.
BalasHapusAgar lbh bnyk yg ingin membaca, sebaiknya lbh dipersingkat, menukik ke inti.
Mantap tulisannya, abdit terus pa😀😀
BalasHapusTerima kasih Jay Riesman atas komentar dan masukkannya, saya terima dengan senang hati saran anda
BalasHapusTerima kasih husna.blogspot.com , kita saling memberi semangat dan saling kunjung
BalasHapusTerimakasih Unknown atas komentarnya, mohon nama bapak/ibu dan media sosial yang bisa saya hubungi untuk bisa saya balas kunjungi
BalasHapus